A. Definisi Sistem
Kepartaian
Sistem kepartaian adalah “pola
kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap
proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem
politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan
suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat
perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah
partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut
mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
B. Klasifikasi
Sistem Kepartaian Menurut Maurice Duverder
Maurice Duverger (1954) membagi partai
berdasarkan klasifikasi jumlah yakni :
·
Sistem
Multi Partai
·
Sistem Partai Tunggal
·
Sisitem 2 Partai
1. Sistem
partai tunggal.
Beberapa pengamat beranggapan bahwa istilah ini kurang
relevan, sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari suatu bagian. Jadi,
dianggap tidak relevan. Meski begitu, sistem ini telah luas dikenal dan di
aplikasikan di banyak negara. Seperti di beberapa negara di afrika, di cina,
kuba, dan uni soviet. Di sistem ini, suasananya non-kompetitif, sebab semua
golongan harus menerima pimpinan partai tersebut dan tidak di benarkan untuk
bersaing dengannya dan dianggap pengkhianatan. Ada kecenderungan sistem ini di
anut oleh negara yang baru terlepas dari kolonialisme, sebab pemimpin yang baru
naik ingin mengintegrasikan berbagai golongan agar dapat tercapainya
pembangunan yang future-oriented.
Contoh yang dianggap paling berhasil ialah Partai Komunis
Uni Soviet. Saat pemerintahannya, partai ini benar-benar dalam keadaan
non-kompetitif. Sebab partai oposisi akan dianggap sebagai pengkhianatan.
Partai tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai
pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan antara kepentingan
partai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
2. Sistem
Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik, sistem ini bisa diartikan
adanya dua partai yang selalu dominan dalam penggapaian hak suara. Dewasa ini
hanya beberapa negara yang bersifat dwi-partai. Yakni Inggris, AS, Filipina,
Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini pihak yang kalah akan menjadi
pengecam utama jika terdapat kesalahan (setidaknya menurut mereka) dalam
kebijakan partai yang menduduki kepemerintahan, dengan pengertian sewaktu-waktu
peran ini dapat tertukar. Ada tiga syarat agar sistem ini dapat berjalan baik.
Yakni masyarakat bersifat homogen, masyarakat memiliki konsensus yang kuat
mengenai asas dan tujuan sosial politik, dan adanya kontinuitas sejarah.
Inggris dapat dikatakan yang paling ideal. Partai buruh dan
partai konservatif bisa dikatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dalam hal asas dan tujuan politik, sehingga perubahan kepemimpinan tidak
terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Hanya saja partai buruh
lebih condong membuat pemerintah melakukan pengendalian dan pengawasan di
bidang ekonomi. Sedang patai konservatif lebih memilih kebebasan berusaha.
Selain partai ini ada partai-partai kecil lain. Pengaruhnya
memang terbatas, namun pada saat perbedaan suara antara dua partai dominan
tipis. Posisi mereka menjadi krusial, hingga partai dominan biasanya akan
mengadakan koalisi dengan partai-partai ini.
Sistem ini umumnya dianggap lebih kondusif, sebab terlihat
jelas perbedaan partai oposisi dan pemerintah. Akan tetapi hal ini juga
memungkinkan tingginya ketajaman perbedaan kedua belah pihak, karna tidak
memiliki pihak ketiga sebagai penengah. Sistem ini juga biasanya memberlakukan
sistem distrik, dimana setiap daerah pemilihan hanya ada satu wakil saja.
3. Sistem
multi-partai
Umumnya sistem ini dianggap cara paling efektif dalam
merepresentasikan keinginan rakyat yang beranekaragam ras, agama, atau suku.
Dan lebih cocok dengan plurartas budaya dan politik di banding dwi partai.
Sistem ini di gunakan di Indonesia, Malaysia, Belanda, Australia, Prancis, dan
Sweadia. Sistem ini dalam kepemerintahan parlementer cenderung menitikberatkan
kekuasaan pada badan legislatif, hingga badan eksekutif sering berperan lemah
dan ragu-ragu. Sebab tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk menduduki
kepemerintahan sendiri hingga memakasa untuk berkoalisi. Sehingga pengambilan
keputusan menjadi lebih rumit karna harus bermusyawarah dengan partai-partai
koalisi. Sebab bukan tidak mungkin partai koalisi ditarik hingga berkurangnya
mayoritas dalam parlemen.
Dilain pihak, peran partai oposisi menjadi kurang jelas.
Karna sewaktu-waktu setiap partai dapat diajak bergabung dalam koalisi.
Sehingga mengakibatkan ketidak stabilan dalam strategi yang tergantung pada kegentingan
masing-masing partai. Dan seringkali partai oposisi kurang dapat menyusun
program alternatif bagi pemerintah. Walaupun tidak selalu, karna di Belanda,
Norwegia, dan Swedia dapat menjadi contoh yang dapat mempertahankan stabilitas
dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.
C. Pola Kompetisi
Dalam
demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu.
Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu
negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan
sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi
regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang
struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih
kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung
meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.
Untuk melihat
sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang dikenal secara umum.
Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai satu kesatuan yang
terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah
dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik kebangsaan Prancis.
Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari pola perilaku dan
interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang dapat
digolongkan menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi partai,
dan sistem multipartai.
Selain itu,
cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang dikembangkan Giovani
Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori, sistem kepartaian
tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit, melainkan
jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan pada tiga
hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan arah
perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi
tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem.
Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartain Indonesia di
masa lalu, kini, dan mendatang.
Dalam
sejarahnya, Indonesia telah mempraktikkan sistem kepartaian berdasarkan pada
sistem multipartai. Meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Pada pemilu
pertama tahun 1955─sebagai tonggak kehidupan politik pasca kemerdekaan hingga
sekarang―menghasilkan lima partai besar: PNI, Masyumi, NU, PKI, dan PSI. Jumlah
partai yang berlaga dalam pemilu itu lebih dari 29 partai, ditambah independen.
Dengan sistem pemilu proporsional, menghasilkan anggota legislatif yang imbang
antara Jawa dan Luar Jawa. Pemilu dekade 1950-an 1960-an adalah sistem
multipartai tanpa ada pemenang mayoritas. Namun, di era demokrasi parlementer
tersebut telah terjadi tingkat kompetisi yang tinggi.
Memasuki era
demokrasi parlementer yang ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang
tujuannya untuk mengakhiri konflik ideologi antarpatai. Pada masa itu, sistem
kepartaian menerapkan sistem multipartai, namun tidak terjadi kompetisi.
Memasuki dekade
1970-an sampai Pemiliu 1971, Indonesia masih menganut sistem multipartai
sederhana (pluralisme sederhana). Waktu itu ada sembilan partai politik yang
tersisa dari Pemilu 1955. Kesembilan partai ditambah Golkar, ikut berlaga dalam
Pemilu 1971. Fenomena menarik dalam Pemilu 1971 ini adalah faktor kemenangan
Golkar yang sangat spektakuler di luar dugaan banyak orang. Padahal kalangan
partai tidak yakin akan memenangkan pemilu. Hal itu didasari pada dua hal,
yaitu ABRI tidak ikut pemilu dan Golkar belum berpengalaman dalam pemilu.
Tetapi, setelah pemilu digelar, ternyata justru bertolak belakang, Golkar
menang mutlak lebih dari 63%. Kemenangan itu menandakan Indonesia memasuki era
baru, yaitu Orde Baru.
Pada era orde
baru, sistem kepartaian masih disebut sistem multipartai sederhana, namun
antarpartai tidak terjadi persaingan. Karena Golkar menjadi partai hegemoni.
Sehingga ada pendapat bahwa secara riil sistem kepartaian menjurus ke sistem
partai tunggal (single entry). Kenapa?
Karena Golkar hanya berjuang demi status quo.
Pada masa
reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai. Hal ini dapat
dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi dan berserikat serta
berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi memberikan ruang kebebasan,
hasrat para politisi untuk mendirikan partai politik tersalurkan. Sebagai
sebuah proses pembelajaran, fenomena menjamurnya partai politik mestinya
dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat yang sedang mengalami
euforia politik.
Pada Pemilu
1999, yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon tertutup
(stelsel daftar) diikuti 48 partai peserta pemilu. Jumlah partai sekitar 140
buah, tetapi lolos verifikasi hanya 48 partai. Dari jumlah itu, keluar enam
partai besar pemenang pemilu, yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB.
Sistem kepartaiannya multipartai, dan tidak ada partai pemenang pemilu yang
memperoleh suara mayoritas.
Setelah dua
kali pemilihan umum paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa
belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai
politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi
telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih
efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara
ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin
efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan.
Pemilu 2004
adalah pesta rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk
pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu secara langsung. Keberhasilan
pemilu secara langsung telah mendaulat Indonesia sebagai negara paling
demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika dan India. Setelah dua kali pemilu
paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak.
Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem
yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai
pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang
stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong
pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka
tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan.
Referensi